hufa
Pola asuh permisif sering dianggap sebagai gaya parenting yang santai dan penuh kebebasan. Bayangkan seorang anak yang bebas tidur larut malam, makan sesuka hati, dan jarang dimarahi meski berbuat salah. Kedengarannya menyenangkan, tapi apakah benar tanpa konsekuensi?
Menurut studi, anak yang Anda besarkan dengan sedikit aturan cenderung kurang disiplin dan sulit mengelola emosi. Mereka mungkin tumbuh dengan rasa percaya diri tinggi, tapi sering kesulitan menghadapi batasan sosial. Jadi, bagaimana sebenarnya parenting permisif ini bekerja?
Pola asuh permisif merupakan salah satu metode pengasuhan yang memberikan kebebasan luas kepada anak dengan sedikit aturan dan batasan. Pendekatan ini menekankan hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang, di mana orang tua lebih berperan sebagai teman daripada sebagai figur otoritatif.
Pola asuh ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Diana Baumrind pada tahun 1971 dalam penelitiannya tentang gaya pengasuhan. Dalam parenting permisif, orang tua cenderung menghindari konfrontasi dan jarang menerapkan aturan ketat atau konsekuensi atas perilaku anak.
Setelah mengetahui pengertiannya, kini saatnya melihat ciri-ciri dari parenting anak permisif. Inilah ciri-ciri dari parenting permisif.
Orang tua permisif sering kali membiarkan anak melakukan apa saja tanpa batasan yang jelas. Anak bisa bermain game sepuasnya, menonton televisi tanpa pengawasan, atau tidur larut malam tanpa aturan yang mengikat. Ketidakhadiran batasan ini membuat anak kurang memahami konsep tanggung jawab dan disiplin.
Dalam pola asuh ini, aturan sering kali longgar atau bahkan tidak ada sama sekali. Jika pun ada peraturan yang dibuat, orang tua cenderung tidak tegas dalam menegakkannya.
Misalnya, anak boleh makan permen sebelum makan malam meskipun sebelumnya dilarang. Ketidakkonsistenan ini dapat membingungkan anak dan membuat mereka kesulitan memahami konsekuensi dari tindakan mereka.
Orang tua permisif biasanya sangat memperhatikan kebutuhan emosional anak dan memberikan kasih sayang tanpa syarat. Mereka ingin anak merasa dicintai dan diterima sepenuhnya.
Namun, dalam banyak kasus, mereka kesulitan untuk berkata “tidak” atau menolak permintaan anak, yang akhirnya membuat anak sulit belajar menerima penolakan dan batasan dalam kehidupan.
Alih-alih memberikan arahan yang jelas, orang tua permisif sering menggunakan hadiah atau makanan sebagai alat untuk membuat anak patuh. Misalnya, mereka memberikan mainan setiap kali anak berperilaku baik atau menawarkan coklat agar anak berhenti menangis.
Strategi ini bisa membuat anak terbiasa mendapatkan imbalan atas setiap tindakan baik, sehingga mereka tidak belajar berperilaku baik karena kesadaran diri, melainkan karena mengharapkan hadiah.
Dalam pola asuh ini, orang tua lebih sering berperan sebagai teman dibanding sebagai figur otoritas. Mereka cenderung melibatkan anak dalam pengambilan keputusan besar dan membiarkan anak memiliki kendali lebih dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Meskipun hal ini bisa membangun hubungan yang akrab, kurangnya keseimbangan antara peran orang tua dan anak dapat membuat anak kurang menghormati batasan yang seharusnya ada.
Orang tua permisif sering merasa tidak nyaman memberikan hukuman atau menegur anak ketika mereka berbuat salah. Mereka lebih memilih untuk membiarkan masalah berlalu daripada menghadapi potensi pertengkaran.
Hal ini bisa membuat anak sulit memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan kurangnya kesadaran terhadap aturan sosial.
Pola asuh permisif memiliki sisi positif dalam hal kasih sayang dan kedekatan orang tua dengan anak. Namun, kurangnya aturan dan disiplin dapat berdampak pada perkembangan anak dalam jangka panjang.
Baca juga: Cara Membangun Bonding Dengan Anak, Ini Tipsnya!
Parenting permisif seringkali ditandai dengan kebebasan yang luas bagi anak dalam mengambil keputusan tanpa batasan yang jelas dari orang tua. Mari kita lihat beberapa contoh nyata dari parenting permisif dalam kehidupan sehari-hari:
Orang tua yang permisif sering membebaskan anak untuk menentukan apa yang mereka makan tanpa mempertimbangkan keseimbangan gizi. Anak bisa saja memilih makanan cepat saji atau camilan manis setiap hari tanpa adanya kontrol dari orang tua.
Akibatnya, mereka mungkin tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Anak-anak yang dibesarkan dalam parenting permisif sering dibiarkan tidur sesuka mereka, meskipun harus bangun pagi untuk sekolah keesokan harinya. Orang tua mungkin merasa kasihan jika anak ingin menonton televisi atau bermain video game hingga larut malam. Namun, kebiasaan ini dapat berdampak negatif pada kesehatan serta konsentrasi anak saat belajar.
Dalam pola asuh ini, anak diberikan kebebasan penuh untuk memilih apakah mereka ingin mengerjakan tugas sekolah atau tidak. Jika anak memutuskan untuk mengabaikan pekerjaan rumah, orang tua cenderung tidak memberikan konsekuensi. Akibatnya, anak bisa tumbuh tanpa rasa tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya.
Orang tua permisif sering menghindari teguran atau hukuman saat anak berperilaku tidak baik. Mereka khawatir anak akan merasa tidak dicintai atau tertekan jika diberikan sanksi. Akibatnya, anak mungkin tidak memahami konsekuensi dari tindakan mereka, sehingga cenderung mengulangi kesalahan yang sama.
Parenting permisif mungkin memberikan kenyamanan bagi anak dalam jangka pendek, tetapi tanpa adanya batasan yang jelas, anak dapat tumbuh tanpa memahami pentingnya tanggung jawab dan disiplin.
Orang tua sebaiknya tetap memberikan kebebasan, namun dengan batasan yang mendukung perkembangan anak secara optimal.