hufa
Sebagian orang tua berpikir bahwa disiplin keras adalah kunci kesuksesan anak. Dengan pola asuh otoriter, mereka menerapkan aturan ketat tanpa kompromi, berharap anak tumbuh patuh dan bertanggung jawab. Tapi, apakah cara ini benar-benar efektif?
Studi menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dengan tekanan tinggi cenderung mengalami kecemasan dan rendah diri. Mereka takut berbuat salah, bukan karena memahami aturan, tapi karena takut hukuman.
Jika dibiarkan, ini bisa berdampak pada perkembangan mental dan sosial mereka. Maka dari itu, yuk kita lihat dampak apa saja yang akan terjadi dari parenting otoriter bagi perkembangan anak.
Pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang menekankan kendali ketat dengan aturan yang harus anak patuhi tanpa pengecualian. Orang tua yang menerapkan pola ini memiliki harapan tinggi terhadap anak dan menuntut kepatuhan penuh tanpa banyak ruang untuk diskusi atau kompromi.
Kebebasan anak dalam mengambil keputusan sangat terbatas, karena semua harus mengikuti aturan dari orang tua. Ciri-ciri yang termasuk dalam parenting otoriter adalah:
Parenting otoriter dapat membuat anak patuh, tetapi juga berisiko menekan perkembangan emosionalnya.
Baca juga: Pola Asuh Demokratis dan Cara Penerapannya
Meskipun tujuan orang tua adalah mendidik anak agar disiplin dan bertanggung jawab, parenting otoriter dapat memberikan dampak negatif terhadap perkembangan emosional, sosial, dan psikologis anak. Berikut adalah beberapa dampak dari parenting otoriter:
Anak yang tumbuh di bawah pola asuh ini cenderung merasa bahwa dirinya tidak pernah cukup baik. Kritik yang keras dan minimnya penghargaan terhadap usaha mereka membuat anak meragukan kemampuannya sendiri.
Akibatnya, mereka merasa takut untuk mencoba hal baru karena khawatir akan mendapatkan teguran atau merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi orang tua.
Minimnya kesempatan untuk mengekspresikan perasaan membuat anak kesulitan mengenali dan mengendalikan emosinya. Mereka terbiasa menekan perasaan mereka sendiri karena takut dimarahi atau dianggap lemah.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa membuat anak sulit memahami emosi orang lain, yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan mereka dalam menjalin hubungan sosial yang sehat.
Anak yang dibesarkan dengan parenting otoriter seringkali menunjukkan dua kecenderungan ekstrem: menjadi agresif atau sangat penurut. Anak yang merasa tertekan mungkin melampiaskan frustrasinya dengan perilaku kasar terhadap orang lain, seperti teman sebaya atau adik mereka.
Di sisi lain, ada juga anak yang justru menjadi terlalu patuh, takut mengungkapkan pendapat, dan selalu menuruti perintah tanpa berani membantah, meskipun mereka merasa tidak nyaman.
Karena terbiasa menerima perintah tanpa ada ruang untuk berpikir sendiri, anak yang besar dengan pola asuh otoriter cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Mereka takut membuat kesalahan dan lebih memilih menunggu instruksi dari orang lain.
Kurangnya kepercayaan diri dalam menentukan pilihan ini dapat berlanjut hingga dewasa, membuat mereka sulit mandiri dalam menghadapi tantangan hidup.
Ketakutan akan hukuman dan ekspektasi yang tinggi membuat anak lebih rentan mengalami kecemasan. Mereka sering merasa waspada dan takut melakukan kesalahan, yang dalam jangka panjang bisa berkontribusi terhadap gangguan kecemasan dan bahkan depresi.
Perasaan tidak pernah cukup baik dan tekanan untuk selalu patuh dapat menghambat perkembangan mental yang sehat.
Pola asuh otoriter dapat memberikan dampak negatif bagi anak dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, orang tua perlu lebih bijak dalam menerapkan disiplin agar anak tetap merasa dihargai.
Menyeimbangkan aturan dengan kasih sayang akan membantu anak berkembang dengan lebih baik. Berikan mereka ruang untuk berpendapat dan belajar dari kesalahan tanpa takut dihukum. Dengan pola asuh yang lebih fleksibel, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri dan percaya diri.